Oleh:
KH. Aziz Hakim Syaerozie, S.Fil*
Santripreneur
adalah istilah yang disematkan kepada kalangan alumni pondok pesantren yang
berkecimpung dalam dunia bisnis. Jumlah santri pengusaha sangat banyak, baik di
level pengusaha kecil, menengah maupun level pengusaha papan atas.
![]() |
KH. Aziz Hakim (Kiri Depan/Sumber Fb Assalafie) |
Para pengusaha santri bergerak di
berbagai lini bisnis, seperti bidang jasa, agribisnis, manufaktur,
transportasi, real estate, logistik, distributor, finansial, dan bidang-bidang
lainnya.
Walaupun pendidikan di pesantren
tidak memberikan penekanan khusus pada kajian teori bisnis, namun kenyataannya
tidak jarang para alumni pesantren yang mampu mengelola bisnis hingga sukses
menjadi wirausahawan.
Posisi Harta Dalam
Perspektif Islam :
Berbicara tentang bisnis tidak bisa
lepas dari pembicaraan harta, karena bisnis –secara sederhana- adalah jalan
paling efektif untuk mendapatkan harta.
Realitas hidup manusia yang bersifat
makhluk sosial juga membuat posisi harta menjadi signifikan. Namun demikian,
bukan berarti harta adalah penentu segala-galanya, bukan berarti harta adalah
kunci mutlak untuk meraih kebahagiaan, karena kebahagiaan ada pada diri kita,
bagaimana cara pandang kita terhadap kehidupan dan bagaimana kita
menjalaninya.
Dalam kajian fikih, kita mengenal
beberapa bab pembahasan yang terkait dengan harta, yaitu bab muamalah
(bisnis) yang di dalamnya membahas berbagai macam akad dan transaksi, seperti al
bai’ (jual beli), As salam (pesanan), al ijaroh (persewaan), al
mudhorobah (investasi) dst. Bahkan
dalam bab Ibadah pun ada beberapa halyang terkait dengan harta, seperti
bab zakat dan haji.
Seorang muslim akan mendapat
predikat muzaki (pemberi zakat) ketika dia memiliki harta yang mencapai nishob
(batasan wajib) untuk dizakati. Seperti zakat perniagaan, zakat peternakan,
zakat pertanian, dst. Tapi ketika keadaannya miskin, maka tidak wajib
mengeluarkan zakat, justru sebaliknya, ia akan masuk dalam katagori mustahik
zakat (orang yang berhak menerima zakat).
Begitu juga ibadah haji yang
merupakan satu dari lima rukun Islam. Seorang muslim tidak diwajibkan untuk
menunaikan ibadah haji ketika kondisinya tidak mampu secara finansial. Karena
kewajiban ibadah haji hanya ditujukan kepada mereka yang mampu baik secara
moril maupun materil.
Dengan demikian kita bisa melihat
posisi harta dalam perspektif Islam begitu penting, harta yang ditegaskan dalam
Al Qur’an surat Al Kahfi ayat 46 sebagai “perhiasan dunia”, ternyata memiliki
fungsi sifnigikan bukan saja dalam ranah fikih mu’amalah akan tetapi juga dalam
ranah fikih ibadah.
Urgensi Harta Dalam
Dakwah :
Dalam sejarah, Rasulullah Saw pernah
menjadi praktisi bisnis, beliau berhasil mengelola usaha bersama istri pertama
siti Khodijah. Keuntungan materi yang dihasilkan dari bisnisnya tersebut
dijadikan sebagai salah satu wasilah untuk menopang keberlangsungan dakwah risalah
ilahiyah (agama Islam) kepada masyarakat di jazirah Arabiyah.
Kemudian setelah pemeluk agama Islam
semakin banyak, kaum beriman semakin hari semakin kuat, Rasulullah Saw dan para
sahabatnya pun terus menopang kegiatan dakwah Islam dengan mengorbankan harta
benda yang dimiliki.
Dalam satu riwayat hadits,
diceritakan bahwa usai perang uhud Rasulullah Saw mewakafkan tanah kebun
Muhairik untuk kepentingan kaum muslimin. Begitu juga ada satu riwayat yang
menjelaskan bahwa sahabat Umar bin Khottob pernah mewakafkan kebun kurma di
daerah Khaibar untuk kemaslahatan dakwah.
Imam Abu Hanifah –pendiri salah satu
dari empat madzhab fikih – yang dikenal sebagai ulama yang konglomerat, juga
telah mengalokasikan harta bendanya untuk kepengtingan dakwah dan pengembangan
keilmuan Islam.
Dari sinilah pakar sejarah dan
filologi Islam Dr Ayang Utriza, menjelaskan bahwa dakwah dalam pelaksanaannya
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dapat dikatakan dakwah tanpa dana hampir
mustahil. Bagaimana mungkin ulama pada abad ke-13 M setelah runtuhnya khilafah
Abasiyah di Baghdad pada 1258 M, menyebar ke seluruh dunia untuk berdakwah jika
tanpa ketersediaan dana?.
Bagaimana mereka akan membuat kapal
laut dan menyimpan persediaan makanan untuk menyeberangi lautan ribuan
kilometer dari Timur Tengah ke India hingga ke Nusantara ini jika mereka tidak
punya dana. Jadi, dakwah membutuhkan dana. (Koran Republika, 18/3).
Geliat Ekonomi Kaum
Sarungan :
Lembaga pendidikan pesantren identik
dengan organisasi Nahdlatul Ulama, karena basis
massa dan
anggota NU didominasi oleh kalangan kiai, santri dan alumni pondok pesantren.
Ketika organisasi NU didirikan, ada kontribusi dari para saudagar pesantren yang tergabung dalam
Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Saudagar) yang turut membidani lahirhnya
organisasi NU.
Pada masa penjajahan, kalangan
pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi pergerakan,
seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916. Kemudian
Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran)
pada tahun 1918, sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum santri. Kemudian
Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar) pada tahun 1918, yang dijadikan
basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Setelah tiga wadah tadi eksis,
kemudian, muncul kesepakatan untuk melebur dengan membentuk organisasi yang
bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926, organisasi ini dipimpin
oleh KH. Hasyim Asy`ari sebagi Rais Akbar.
Dengan demikian sangat jelas bahwa peran santripreneur sangat signifikan
dalam proses berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang menjadi afiliasi
pondok pesantren di Tanah Air.
Dewasa ini juga demikian, banyak
sekali pondok pesantren yang bergerak dalam bidang pengembangan ekonomi. Kita
bisa melihat di beberapa daerah terdapat sentra-sentra bisnis yang dikelola
oleh pesantren, koperasi-koperasi dengan aset dan omset miliaran rupiah yang
ditangani oleh kalangan pesantren, pertanian dan peternakan yang dikelola oleh
kaum sarungan dengan target pemasaran di dalam dan luar negeri. Bahkan tidak
jarang pondok pesantren yang diberi label “pesantren entrepreneur”.
Ini semua sebagai salah satu bukti
bahwa geliat bisnis di lembaga pendidikan pesantren sangat maju signifikan,
sehingga diharapkan para alumni pesantren –saat ini- ikut andil dalam
pengembangan bidang ekonomi dengan menjadi pengusaha dan melakukan aktivitas
bisnis, meneruskan apa yang sudah dicanangkan dan dicontohkan oleh Rasulullah
Saw, para Sahabat Nabi, para tabi’in dan para ulama. Wallahu A’lam.
(Sumber: Majalah Salafuna Edisi 46/Januari/2017)
No comments:
Post a Comment