Spirit Bisnis Kaum Sarungan - Blog Nusa Televisi

Inspirasi Anak Bangsa

Artikel Terbaru Kami

Monday, 1 January 2018

Spirit Bisnis Kaum Sarungan



 Oleh: KH. Aziz Hakim Syaerozie, S.Fil*
 
Santripreneur adalah istilah yang disematkan kepada kalangan alumni pondok pesantren yang berkecimpung dalam dunia bisnis. Jumlah santri pengusaha sangat banyak, baik di level pengusaha kecil, menengah maupun level pengusaha papan atas. 
KH. Aziz Hakim (Kiri Depan/Sumber Fb Assalafie)

            Para pengusaha santri bergerak di berbagai lini bisnis, seperti bidang jasa, agribisnis, manufaktur, transportasi, real estate, logistik, distributor, finansial, dan bidang-bidang lainnya.
            Walaupun pendidikan di pesantren tidak memberikan penekanan khusus pada kajian teori bisnis, namun kenyataannya tidak jarang para alumni pesantren yang mampu mengelola bisnis hingga sukses menjadi wirausahawan.

Posisi Harta Dalam Perspektif Islam :

            Berbicara tentang bisnis tidak bisa lepas dari pembicaraan harta, karena bisnis –secara sederhana- adalah jalan paling efektif untuk mendapatkan harta.
            Realitas hidup manusia yang bersifat makhluk sosial juga membuat posisi harta menjadi signifikan. Namun demikian, bukan berarti harta adalah penentu segala-galanya, bukan berarti harta adalah kunci mutlak untuk meraih kebahagiaan, karena kebahagiaan ada pada diri kita, bagaimana cara pandang kita terhadap kehidupan dan bagaimana kita menjalaninya. 
            Dalam kajian fikih, kita mengenal beberapa bab pembahasan yang terkait dengan harta, yaitu bab muamalah (bisnis) yang di dalamnya membahas berbagai macam akad dan transaksi, seperti al bai’ (jual beli), As salam (pesanan), al ijaroh (persewaan), al mudhorobah (investasi) dst.  Bahkan dalam bab Ibadah pun ada beberapa halyang terkait dengan harta, seperti bab zakat dan haji.
            Seorang muslim akan mendapat predikat muzaki (pemberi zakat) ketika dia memiliki harta yang mencapai nishob (batasan wajib) untuk dizakati. Seperti zakat perniagaan, zakat peternakan, zakat pertanian, dst. Tapi ketika keadaannya miskin, maka tidak wajib mengeluarkan zakat, justru sebaliknya, ia akan masuk dalam katagori mustahik zakat (orang yang berhak menerima zakat). 
            Begitu juga ibadah haji yang merupakan satu dari lima rukun Islam. Seorang muslim tidak diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji ketika kondisinya tidak mampu secara finansial. Karena kewajiban ibadah haji hanya ditujukan kepada mereka yang mampu baik secara moril maupun materil.
            Dengan demikian kita bisa melihat posisi harta dalam perspektif Islam begitu penting, harta yang ditegaskan dalam Al Qur’an surat Al Kahfi ayat 46 sebagai “perhiasan dunia”, ternyata memiliki fungsi sifnigikan bukan saja dalam ranah fikih mu’amalah akan tetapi juga dalam ranah fikih ibadah.


Urgensi Harta Dalam Dakwah :

            Dalam sejarah, Rasulullah Saw pernah menjadi praktisi bisnis, beliau berhasil mengelola usaha bersama istri pertama siti Khodijah. Keuntungan materi yang dihasilkan dari bisnisnya tersebut dijadikan sebagai salah satu wasilah untuk menopang keberlangsungan dakwah risalah ilahiyah (agama Islam) kepada masyarakat di jazirah Arabiyah. 
            Kemudian setelah pemeluk agama Islam semakin banyak, kaum beriman semakin hari semakin kuat, Rasulullah Saw dan para sahabatnya pun terus menopang kegiatan dakwah Islam dengan mengorbankan harta benda yang dimiliki.
            Dalam satu riwayat hadits, diceritakan bahwa usai perang uhud Rasulullah Saw mewakafkan tanah kebun Muhairik untuk kepentingan kaum muslimin. Begitu juga ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa sahabat Umar bin Khottob pernah mewakafkan kebun kurma di daerah Khaibar untuk kemaslahatan dakwah.
            Imam Abu Hanifah –pendiri salah satu dari empat madzhab fikih – yang dikenal sebagai ulama yang konglomerat, juga telah mengalokasikan harta bendanya untuk kepengtingan dakwah dan pengembangan keilmuan Islam.
            Dari sinilah pakar sejarah dan filologi Islam Dr Ayang Utriza, menjelaskan bahwa dakwah dalam pelaksanaannya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dapat dikatakan dakwah tanpa dana hampir mustahil. Bagaimana mungkin ulama pada abad ke-13 M setelah runtuhnya khilafah Abasiyah di Baghdad pada 1258 M, menyebar ke seluruh dunia untuk berdakwah jika tanpa ketersediaan dana?.
            Bagaimana mereka akan membuat kapal laut dan menyimpan persediaan makanan untuk menyeberangi lautan ribuan kilometer dari Timur Tengah ke India hingga ke Nusantara ini jika mereka tidak punya dana. Jadi, dakwah membutuhkan dana. (Koran Republika, 18/3).

Geliat Ekonomi Kaum Sarungan :

            Lembaga pendidikan pesantren identik dengan organisasi Nahdlatul Ulama, karena basis
 massa dan anggota NU didominasi oleh kalangan kiai, santri dan alumni pondok pesantren. Ketika organisasi NU didirikan, ada kontribusi dari para  saudagar pesantren yang tergabung dalam Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Saudagar) yang turut membidani lahirhnya organisasi NU. 
            Pada masa penjajahan, kalangan pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916. Kemudian Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) pada tahun 1918, sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum santri. Kemudian Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar) pada tahun 1918, yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
            Setelah tiga wadah tadi eksis, kemudian, muncul kesepakatan untuk melebur dengan membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H  / 31 Januari 1926, organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy`ari sebagi Rais Akbar.  Dengan demikian sangat jelas bahwa peran santripreneur sangat signifikan dalam proses berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang menjadi afiliasi pondok pesantren di Tanah Air.
            Dewasa ini juga demikian, banyak sekali pondok pesantren yang bergerak dalam bidang pengembangan ekonomi. Kita bisa melihat di beberapa daerah terdapat sentra-sentra bisnis yang dikelola oleh pesantren, koperasi-koperasi dengan aset dan omset miliaran rupiah yang ditangani oleh kalangan pesantren, pertanian dan peternakan yang dikelola oleh kaum sarungan dengan target pemasaran di dalam dan luar negeri. Bahkan tidak jarang pondok pesantren yang diberi label “pesantren entrepreneur”.
            Ini semua sebagai salah satu bukti bahwa geliat bisnis di lembaga pendidikan pesantren sangat maju signifikan, sehingga diharapkan para alumni pesantren –saat ini- ikut andil dalam pengembangan bidang ekonomi dengan menjadi pengusaha dan melakukan aktivitas bisnis, meneruskan apa yang sudah dicanangkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw, para Sahabat Nabi, para tabi’in dan para ulama. Wallahu A’lam.

*Anggota Dewan Keluarga Pondok Pesantren Putra Putri Assalafie Babakan Ciwaringin, Pengurus Pusat Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama Periode 2015 – 2020

(Sumber: Majalah Salafuna Edisi 46/Januari/2017)

No comments:

Post a Comment

Pages