Oleh : KH. Lukman
Hakim, MA*
Sebagaimana
kita fahami bahwa ulama adalah pewaris para Nabi dan Rosul yang memiliki peran
sentral tidak bisa dilakukan oleh komunitas lainnya, di antara peran itu adalah
:
Pertama, ulama sebagai
transformasi nilai-nilai dan ilmu agama. Hal ini ini nyaris semua orang yang
belajar agama mendapat sumber referensinya dari para ulama. Di samping itu,
penyebaran Islam di Indonesia tidak terlepas dari kiprah dan peran para ulama
di Nusantara.
Kedua, ulama sebagai panutan
penting dalam tatanan sosial di
masyarakat. Hal ini didasarkan karena dari sistem pengajaran yang diterapkan
ulama, terbukti dapat mencetak masyarakat yang dinamis, gotong royong, toleran
serta berakhlakul karimah.
![]() |
KH. Lukman Hakim |
Ketiga, ulama sebagai
pendorong pemberdayaan ekonomi. Dalam pendidikan pesantren, ulama tidak hanya
mengajarkan tentang ilmu-ilmu agama saja. Akan tetapi, ulama juga mengajarkan
pada para santrinya tentang ekonomi. Orientasi ulama selalu berfikir bagaimana
caranya mencetak sumber daya manusia yang bermutu tinggi dan mandiri secara
ekonomui.
Tiga hal di atas merupakan contoh
dari sekian banyak peran penting ulama di masyarakat, terjadi dari zaman dulu
hingga sekarang, dari zaman penjajahan hingga kemerdekaan, peran-peran tersebut
masih tetap eksis dilakukan oleh para ulama.
Adapun terkait kemerdekaan bangsa
Indonesia, ulama serta para santrinya mempunyai peran tersendiri dalam
melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda, Inggris maupun Jepang. Banyak
dari sekian pahlawan perjuangan kemerdekaan yang merupakan seorang ulama di
antaranya ; Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran
DiponegoroTengku Cikditiro dan juga masih banyak yang lainnya.
Kalau kita menelaah sejarah
kemerdekaan, yang memotori terjadinya peristiwa tanggal 10 November 1945 di
kota Surabaya adalah para ulama. Beliau-beliau selalu memberikan doktrin anti
penjajahan kepada masyaraka. Jadi para ulama-lah yang menjadi orator ulung
pengobar semangat rakyat dalam melawan
para penjajah.
Selain dalam sisi agama dan sosial,
para ulama juga memiliki peran dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Salah
satunya adalah melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang didirikan oleh Gus
Dur (sapaan akrab KH. Abdurrahman Wahid). Sebuah partai politik yang menjadi
wadah aspirasi para kiai dan santri
dalam mengisi kemerdekaan bangsa.
Pada masa
pra-kemerdekaan, para ulama yang diwakili oleh KH. Wachid Hasyim beserta Bung
Karno ikut serta dalam perumusan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Dengan adanya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan juga proses
pembentukan dasar Negara yang sarat akan nila-nilai agama, bisa disimpulkan
bahwa para ulama juga memiliki peran signifikan dalam
perpolitikan di
tanah air.
Dengan demikian, bahwa kontribusi
para ulama dalam kancah nasional itu sangatlah besar. Pondok pesantren adalah
bukti ril kontribusi ulama tersebut. Ada lebih dari 27.000 pondok pesantren di
tanah air, dari Sabang sampai Marauke yang merupakan hasil dari rintisan para
ulama di Nusantara.
Akan tetapi dalam waktu dekat ini,
pondok pesantren yang notabene adalah imunisasi dari para ulama selalu
dikaitkan dengan yang namanya terorisme. Berita burung ini sudah
mewabah dan tersebar di seluruh penjuru tanah air dan menyebabkan citra pondok
pesantren menjadi agak negatif.
Beberapa kalangan mengatakan bahwa
para ulama di pondok pesantren mengajarkan kepada santri-santrinya tentang aksi
terorisme, hal ini merupakan fitnah besar. Perlu diketahui, bahwa secara
historis, terorisme tidak ada kaitan dengan
bangsa Indonesia. Terorisme merupakan realisasi seorang
atau sekelompok orang yang memahami teks agama secara sempit dan kaku. Mereka
beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan suatu implementasi ajaran
agama yang benar. Padahal tidak ada satupun nash agama yang membenarkan aksi
mereka tersebut. Itu semua hanya pemahaman mereka yang sempit dan terlalu kaku.
Adapun
terkait mengapa ada santri yang ikut terjerumus pada terorisme, di antara
sebabnya adalah tidak tuntas dalam memahami apa yang diajarkan oleh para ulama
di pesantren, dalam kata lain “mondoknya kurang lama”. Jika
santri tersebut bermukim lama dan ngajinya tuntas, maka dipastikan santri
tersebut tidak akan terjerumus ke dalam jaringan yang bernama terorisme. Karena
sumber tindakan teror dan sikap radikal dari segelintir orang yang mengaku
pernah belajar di pesantren adalah pengaruh dari lingkungan di luar pesantren
dan ajakan dari kalangan non pesantren (bukan kiai dan santri).
Terkahir, hal yang harus dilakukan
oleh para santri dalam rangka mengisi moment kemerdekaan ini adalah: meniru
teladan ulama dengan cara berjuang total dalam belajar, harus menjadi
motor bagi masyarakat untuk menjadikan
masyarakat yang bangkit dalam segi sumber daya manusia dan juga dalam segi
akhlakul karimah, harus terus semangat dan berjuang dalam syi’ar agama Islam
sebagaimana ulama terdahulu.
Oleh
karena itu, para santri sudah seharusnya berjuang dalam segala hal yang
berkaitan dengan umat. Karena penjajah hari ini tak seperti penjajah zaman
dahulu. Di mana penjajah hari ini adalah kemiskinan dan kebodohan. Maka dari
itu, seorang santri dituntut untuk bisa mumpuni dalam hal itu dan harus siap
untuk melawan dan mengentas penjajahan
modern di negeri ini.
*Penulis anggota
Dewan Keluarga pondok pesantren putra putri Assalafie, kepala tingkat Ibtidaiyah Madrasah Al Hikamus Salafiyah Putri (MHSP)
(Sumber Majalah Salafuna
Edisi 45 September-Desember 2016)
No comments:
Post a Comment