Oleh: Hamba Allah*
Ini cerita bukan fiksi atau karangan, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi diambil langsung dari kehidupan nyata. Bila terjadi kesamaan, maka itu bukanlah suatu kebetulan.
Santri Junior
Ilustrasi Santi Junior yang Tertidur
Tahun-tahun pertama awal mondok itu terasa berat, pagi jam setengah 5 kami di bangunkan paksa oleh pengurus lalu sholat shubuh, mandi untuk yang sekolah atau takhasus, siangnya sehabis dhuhur kami di giring ke MHS hingga ashar kami menimba ilmu meskibeberapa dari kami aras2an dan pergi madrasah hanya takut ketahuan pengurus dan untuk absen lalu tidur dan becanda di sana, merugi sekali... habis itu ashar, kami berjama’ah dan lalu sorogan atau bandungan hingga magrib.
Saat wiridan maghrib atau isya’ merupakan hal yang membosankan dan melelahkan bagi kami, ahh... Mungkin karena kami belum mengerti betul makna bacaan-bacaan yang saat itu dibaca, entahlah, tapi meski begitu, jujur aku adalah santri yang patuh meski ada rasa terpaksa terselip di kepatuhan ku.
Kami Lelah, Kami Capek Kang...
Namun sebagian dari kami mengabaikan peringatan pengurus untuk menghormati wiridan serta Imam, dan dengan tanpa merasa salah mereka malah guyonan, pijet-pijetan atau yang merasa benar dengan menghafal juz amma atau kitab-kitab muhafadzoh yang kudu disetorkan. Padahal pernah suatu hari kami diceramahi bahwa saat wiridan dan doa setelah sholat itu didengar Allah, apalagi yang memimpin Pengasuh sendiri, ah tak bisa di bayangkan bagaimana perasaannya orang yang dengan ikhlash didepan kami berdoa untuk kebaikan kami di dunia dan akhirat sedang kami dibelakangnya malah sok menghafal bukan pada waktunya atau bahkan bercanda cengengesan,,, astaghfirullah...Lalu saat pengurus melaksanakan kewajibannya demi membimbing kami agar bisa melaksanakan kewajiban kami juga terkadang kami enggan diperlakukan seperti itu, dan... alih-alih menurut kami malah mengemukakan alasan supaya bisa terhindar dari kewajiban.. seperti pas wiridan kami malas, ya tinggal ngelonyor aja ke kamar, dan bilang kepengurus yang ngajaga ‘mau ke MCK’ atau ‘matanya mau diobatin’ atau kakinya berdarah kang’ begitu kah cara izin yang sopan? Ahhh kenapa kami tidak diam saja hingga wiridan selesai, padahal tidak lebih lama dari se-babak pertandingan bola.
Saat kami digobreg untuk berjamaah, kami bilang ‘belum komat’, saat disuruh menunggu menghafal di musholla, kami bilang ‘disini saja’, saat kami diminta mengisi shaf sholat yang kosong, kami bilang ‘istiqomah’, saat dibangunkan untuk shubuh atau saat wiridan, kami bilang ‘ngantuk’, saat kami dipersilahkan istirahat malam, kami bilang ‘belum ngantuk’, saat kami setoran, kami bilang ‘belum hafal’, saat kami tidak belajar atau menghafal dan hanya bermain saja, kami bilang ’nanti saja ngederes ngapali innya’. saat kami diperingati dengan halus agar menurut, kami bilang ‘iya’ namun tetap melanggar, saat diperingati agak keras kami melawan, saat diperingati dengan keras kami bilang ‘aja akas bae sih kang!!!’ astaghfirllah...
Dan inilah kami dengan segala keinginan yang neko-neko. Permintaan pribadi saya selaku junior pada para senior adalah sabarlah menghadapi kami, karena kami tidak seperti mereka ketika dulu. Semoga Allah membalas segala kebaikan kalian. Maaf jika ada yang menyinggung hati. Terimakasih wallahu a’lam
Santri Senior
Kami adalah santri-santri di tingkatan Tsanawiyah dan Aliyah. Niat kami masih tetap sama seperti dulu terbukti dari tetap bertahannya kami disini. Namun mungkin niat kami bukan lagi sebagai niat, karena ada dari kami yang melakukan hal yang malah bertentangan dengan niat kami itu. Jika bukan karena masalah financial atau karena ingin belajar ditempat lain, beberapa teman kami akan tetap berada di pesantren yang membesarkan kami ini.
Rata-rata kami telah mendapat kepercayaan sebagai pengurus. Melihat ini, beberapa dari kami silau dan lupa diri melupakan apa kewajiban santri itu.
Ilustrasi Santri Senior (Sumber: Ala Santri)
Para petinggi pesantren memberi kami kepercayaan karena mereka percaya kami bisa melaksanakan amanat itu tanpa meninggalkan kewajiban belajar dan mematuhi aturan pondok.Pengurus sekarang seolah terlena dengan adanya berbagai rukhshoh yang diberikan kepadanya.
Padahal, rukhshoh diberikan semata-mata karena diharapkan setelah adanya kemurahan itu kami bisa melaksanakan amanat dengan maksimal. Dan jika sebaliknya, rukhshoh tersebut malah menghambat kami dalam menjalankan amanat, maka buat apa ada rukhshoh?
Saya termasuk senior yang merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada sebagian dari kami, padahal kami sudah sepakat sebelumnya bahwa ’ini tugas ente’ dan ‘kien bagiane reang’. Jika sudah begini seharusnya segera sadarlah bagian dari kami itu agar melaksanakan kewajibannya. Ahhh... memang benar ada pengurus entah di asrama atau yang di pusat kelihatan malas, tapi pengurus mungkin punya kewajiban lain yang membuatnya seperti itu. Dan pengurus pan sudah paham mana yang boleh dan mana yang dilarang. Baiknya berhusnudzon saja.
Pengasuh pernah ngelingaken kita, sebenarnya, saat kami bekerja dan tidak cocok itu bukan karena tidak cocok, kami hanya malas. Lalu solusinya? Ya kembali kesadaran pengurus dalam seikhlas mungkin berkhidmah harus di perkuat lagi niatnya...
Mentakzir, Bukan Berarti Kami Kebal ditakzir
Harus diingat apa yang pernah Muassis dawuh kan ‘pengurus iki dadi wakile ingsun’ kambali harus kita renungkan lagi, pengurus itu hadir sebagai pengganti jika pengasuh tidak bisa melaksanakan perkara itu. Artinya seandainya kita jadi pengasuh, apa yang akan kita lakukan ketika melihat keadaan A? Atau bertemu santri yang seperti B? Jika semua pengurus sadar betul bahwa dirinya diangkat adalah sebagai kepanjangan tangan dari pengasuh, maka insya Allah kesadaran dan keihklasan dalam berkhidmah akan tercipta di
Lingkungan pesantren. Kami adalah manusia, penuh salah seperti yang lain dan tak sempurna bagai Nabi, makanya kami mohon maaf kepada junior jika kurang memperhatikan dan membimbing dan kepada dan petinggi pesantren atas kealpaan kami dalam menjalankan amanat. Atas segala salah ucap kami mohon maaf, dan niat kami adalah saling mengingatkan. Wallahu A’lam.
*Nama Penulis di Samarkan
(Sumber: Majalah Salafuna Edisi 32 Tahun 2012)
No comments:
Post a Comment