Oleh: Abdul Muiz Ghozalie*
Ujian Nasional telah dilaksanakan disekolahan-sekolahan seluruh Nusantara, tentu, mereka para siswa kelas akhir sudah merencanakan langkah pendidikannya kedepan, biasanya, mereka akan melanjutkan pendidikannya sesuai dengan jurusan yang telah ia ambil disekolahan, namun itu menjadi problem bagi mereka yang keberadaannya dipondok pesantren, pasalnya, mereka yang menamatkan jenjang pendidikan formal, keberadaan mereka di pondok pesantren hanyalah baru beberapa tahun saja, atau terbentur dengan pendidikan madrasah yang dilaksanakan oleh lembaga pondok pesantren, hingga terlalu dini untuk meninggalkan pondok pesantren. Mungkin ini merupakan problematika yang cukup serius bagi mereka yang masih bingung menentukan pendidikan kedepannya,
Segala kelebihan tentu berdampingan dengan kekurangan, begitupun sebaliknya, demikian juga dengan permasalahan diatas, kedua lembaga tersebut (Pondok pesantren dan perguruan tinggi) tentu ada kelebihan dan kekurangnnya, kita para santri, dalam menyikapi permasalahan lebih terdoktrin pada cara dan sikap kepesantren- pesantrenan yang memandang dari segala sisi, artinya, tak hanya memandang dari satu sisi dalam menyelesaikan masalah. Maka dengan ini, ada beberapa pandangan tentang plus minusnya sikap kita dalam mengambil keputusan pendidikan kedepan.
Ilustrasi Pendidikan Sekolah Formal
Pertama, Sikap Kita meneruskan Status Santrinya di Pondok Pesantren
Orang tua kita, menggambarkan sikap seseorang dalam menempuh jalan pendidikannya , itu seperti menggali sumur, selagi belum keluar airnya, jangan pindah dulu, hal ini mungkin bisa kita fahami dengan memandang dari segi filosofisnya, andai, orang yang menggali sumur, karena praduga tanah sebelah lebih baik sumber airnya, ia meninggalkan galian awal dan menggarap galian yang baru, tentu akan lebih lama mendapatkan maksud tujuannya. Imam Azzarnuji dalam kitab Ta’lim almuta’allim, menggubah syair yang memaparkan beberapa syarat bagi penuntut ilmu, diantaranya, dengan masa yang lama dalam menuntut ilmu, meski ada beberapa pandangan atas syarat tersebut, tapi seyogyanya orang yang relatif lama dalam menyikapi sesuatu, tentu hasilnya akan berbeda dengan seseorang yang menyikapinya dengan sekejap saja, KH. Marzuqi Ahal (pengasuh Pest. Muallimin), dalam wawancaranya dimajalah LaDuni pada edisi pertama, beliau membaca usia mesantren para santri (Pesantren Babakan) pada saat sekarang, kebanyakan hanya berkisar pada enam tahun, seiring dengan tamatnya pendidikan formal, kalau melihat dari segi kejiwaan, ironis sekali, umumnya, seseorang yang menamatkan pendidikan sekolah, tak jauh dari usia 17 Tahun, secara psikologis, pada usianya yang relative muda, lulusan SMA sederajat masih akan terpengaruh dengan haliyah luar. Dengan boyong pasca lulus sekolah, para santri berkemungkinan akan terpengaruh dengan panorama kehidupan luar pesantren.
Disisi lain, pondok pesantren dalam membentuk karakter pribadi para santri, itu tergambarkan sebagaimana kita membentuk pondasi untuk sebuah bangunan, kehidupan seseorang laksana sebuah bangunan yang berdiri, pondasinya adalah pendidikan. pendidikan yang begitu sempurna, justru banyak ditemui dipondok pesantren, karena pondok pesantren memberikan pendidikan kepada para santrinya tidak hanya dari segi lahiriyyah (eksternal) saja, melainkan juga dari segi bathiniyyah (internal). Dengan demikian, para santri memegang dua kekayaan sebagai bekal kehidupaannya dikemudian hari. hanya saja, dengan demikian para santri sedikit terkendala masalah pengembangan potensi yang telah didapat dari pendidikan formalnya.
Kedua, Melanjutkan Status Santrinya diluar Pesantren (Kuliah)
Melanjutkan pendidikan formal pada perguruan tinggi (kuliah) sebenarnya itu sebagai bentuk pengembangan para santri atas apa yang telah mereka dapatkan dari pendidikan sekolah, dengan demikian para santri akan semakin tahu tentang apa yang telah diketahuinya, secara pengalaman, para santri akan semakin realistis, bahkan mereka akan menjumpai kehidupan baru pada dunia kampusnya, mereka juga akan menjumpai beberapa hal yang baru lainnya, baik dari aspek pemikiran, pergaulan hingga cara mereka perpakaian, tentu, beda dipesantren beda diperkuliahan. dipesantren para santri mungkin terkesan dengan kesederhananya, berbeda ketika sampai pada dunia perkuliahan, memang lingkungan menawarkan demikian adanya, tapi, dengan demikian para santri dari tingkat kompeten akan terbangun bagus, hingga punya keberanian untuk tampil dimata khalayak umum, karena mungkin selama ini mereka terbentur dengan budaya dan lingkungan pondok pesantren dalam pengembangan pengetahuannya, seorang santri itu ibarat burung, harus punya dua sayap untuk bisa terbang tinggi, artinya, mereka sudah punya satu sisi pemahaman, yaitu pemahan tentang ilmu agama, seyogyanya, para santri juga harus ada yang punya pemahaman tentang ilmu umum lainnya, Ustadz Muammar Husain (Penasehat ahli Majalah Salafuna) memaparkan, pengetahuan ilmu agama itu bagaikan makanan pokok, sedangkan lauk pauknya pemahaman ilmu umum, artinya, mampukah mereka tetap menjaga ruh-ruh kepesantrenannya ditengah dunia perkampusan?
Ilustrasi, Pendidikan Tinggi
Pada akhirnya, keputusan yang teriring keyakinan kuat yang dapat menghantarkan pada kesuksesan, karena langkah awal yang teriring oleh keyakinan, merupakan awal dari kesuksesan. yang terpenting bagai mana pun juga, adalah status santri harus tetap terjaga dengan baik. Untuk yang melanjutkan pendidikannya diluar pesantren, “Jangan sampai sayap kanan yang sudah kalian miliki malah lemah tak berdaya karena sayap kirimu”. Untuk yang tetap dipesantren “untuk sukses nggak meski harus terbang, melata yang tertata kalian akan sukses juga”. Yang pasti, Bismillah.. teruslah melangkah, satu langkah jauh lebih baik dibanding jalan ditempat.
“Jangan membuka pikiran kamu untuk membatasi diri, melainkan batasi diri kamu dari batasan untuk membuka pikiran” (Mario teguh). Wallahu ‘alam.
*Penulis Merupakan Kepala Pondok Assalafie Periode 2016-2018 M
(Sumber: Majalah Salafuna Edisi 37 Tahun 2014)
No comments:
Post a Comment